Hakikat Harta dan Usaha Manusia



Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Untuk itu ia dibelaki dengan aneka potensi dan kecenderungan agar manusia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Lawan jenis—laki-laki atau perempuan, anak-anak, aneka harta, seperti emas, perak, uang yang banyak, binatang peliharaan, serta sawah dan ladang adalah hal-hal yang dihiaskan kesukaannya kepada manusia. Demikian QS. Ali Imran [3]: 14.

Kata dihiaskan yang terdapat dalam ayat ini berbentuk passive voice, yakni tidak disebutkan siapa yang menghiaskan kesenangan dan kecintaan itu kepada manusia. Kata ulama, bentuk kata demikian sengaja dipilih dalam ayat ini karena yang menghiaskannya ada dua kemungkinan. 

Pertama, yang menghiaskan adalah Allah, jika kecintaan seseorang dalam batas-batas yang halal dan wajar. Sedang kedua, yang menghiaskan adalah setan, itu terjadi manakala kecintaan terhadap objek-objek duniawi itu melampaui batas kewajaran dan melaggar ketentuan agama.

Karena adanya keterlibatan setan dan nafsu yang tak terkendali, banyak sekali ditemukan tuntunan menyangkut perolehan harta dan bagaimana seharusnya sikap seseorang terhadap harta. Nabi SAW misalnya, mengingatkan bahwa:

“Putra-putri Adam berkata: ‘Hartaku, hartaku.’ Sebenarnya engkau tidak memiliki dari ‘hartamu’ kecuali apa yang engkau makan dan habiskan, yang engkau pakai dan engkau punahkan dan apa yang engkau sedekahkan.” (HR. Muslim)

Memang kepemilikan harta benda tidak dilarang. Bahkan dianjurkan Al-Qur’an menamai harta yang banyak dengan khair/kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]: 180). Allah juga memerintahkan menulis utang-piutang agar harta tidak hilang dan perselisihan tidak muncul (QS. Al-Baqarah [2]: 282) Tetapi dalam saat yang sama, Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa kehidupan duniawi seringkali melengahkan.

Manusia didorong agar berusaha mencari harta, tetapi diingatkan bahwa ada batas-batas yang harus diindahkan dalam perolehan dan pemanfaatannya. Manusia juga harus sadar bahwa apapun hasil usaha yang diperolehnya, maka itu bukan semata-mata karena usahanya secara mandiri, tetapi ada keterlibatan pihak-pihak lain, seperti lalu lintas, bahkan pembeli atau penggunaan jasa. 

Di samping itu ada keterlibatan Allah yang telah menyiapkan bahan mentah bagi komoditas yang menjadi bahan usaha manusia.Memang manusia hanya menyiapkan bahan mentah yang telah disiapkan Allah—katakanlah kayu bagi pengusaha mebel, tanah dan benih bagi petani, ikan bagi nelayan, dan lain-lain—itu semua bukan mereka yang menyediakan dan memudahkan penggunaannya, tetapi Allah. Maka, sangat wajar bila sebagian dari harta yang diperoleh disisihkan bagi yang membutuhkan. Penyisihan itu melahirkan kewajiban zakat dan infaq.

Para ulama berdasarkan keterangan Al-Qur’an dan Sunnah menggarisbawahi bahwa hasil usaha yang diperoleh seseorang bisa jadi haram, bisa halal, dan bisa juga syubhat, yakni kabur/ tidak jelas apakah halal atau haram. Allah memerintahkan untuk menzakati dan mensedekahi hasil usaha yang halal dan baik sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 172 dan juga berdasar penegasan Nabi SAW: “Sesungguhnya Allah itu baik. Ia tidak menerima kecuali yang baik.”

Perintah itu merupakan perwujudan dari kepedulian kepada masyarakat dan tanda terima kasih atas partisipasi mereka. Sekaligus berfungsi menyucikan jiwa pemilik dan menyucikan hartanya, siapa tahu ada hal-hal yang tidak wajar/kurang baik telah dilakukan oleh pemilikdalam perolehannya. Zakat/infaq itu bisa berfungsi mengembangkan harta benda, karena dengan memberi yang butuh, daya beli pasar bertambah dan produksi dapat ditingkatkan.

Syubhat sebaiknya dihindari—sekali lagi sebaiknya dihindari—walau dapat ditoleransi bila dilakukan. Tapi, siapa yang berada di sekitar jurang, ia bisa terpeleset sehingga sebaiknya menjauh darinya. Nah, kalau hasil usaha yang diperoleh bersumber dari kegiatan yang bersifat syubhat—tidak jelas halal atau haram, maka di sini zakat/penyuciannya tentu lebih dibutuhkan karena ada kemungkinan hakikatnya haram sehingga unsur pembersihannya lebih ditekankan dibanding dengan yang halal. Zakat yang dikeuarkan ketika itu dapat berfungsi serupa dengan zakat dan infaq dari harta yang halal.

Hasil usaha yang haram pada prinsipnya tidak diterima Allah. Bukankah seperti diungkapkan di atas bahwa Allah tidak menerima kecuali yang baik? Namun demikian sementara ulama merinci. Ada yang berkata: kalau hasil usahanya haram, seperti riba misalnya, namun sang pengusaha tidak mengetahui bahwa riba terlarang, maka ia diharuskan bertaubat sekaligus mengeluarkan zakatnya. Semoga dengan taubat dan zakat itu, Allah mengampuninya.

Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275, Allah berfirman: Mereka berkata jual beli tidak lain sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktik riba), makabaginya  apa yang diambilnya terdahulu (sebelum datangnya larangan); dan urusannya kembali kepada Allah. Adapun orang yang kembali (melakukan riba) maka orang itu dalam para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

Kalau hasil usaha itu jelas-jelas haram, misalnya hasil perampokan, penipuan, korupsi dan lainnya, maka yang diwajibkan baginya adalah bertaubat dan mengembalikan harta yang diusahakannya secara haram itu kepada pemilik yang sah. Kalau harta itu tidak memungkinkan dikembalikan, maka harta itu disalurkan kepada masyarakat umum dengan niat semoga ganjaran sedekahnya mengalir  kepada pemilik.

Kenapa harta haram tidak diterima walau sudah dizakati atau bahkan disalurkan sebagian besar darinya? Ini karena keharamannya tidak dapat dibersihkan. Usaha haram menjadikannya kotor. Kalau kita menggunakan pendekatan hukum Islam, ia serupa dengan babi, apapun yang dilakukan untuk membersihkannya, tetap saja ia najis dan kotor.

Di sinilah letak kekeliruan sementara orang yang korupsi dengan dalih untuk membantu fakir miskin. Atau yang berkunjung ke Mekkah untuk haji dan umroh—dengan biaya hasil usaha haram—itu untuk bertaubat. Haji dan umroh tidak diterima!! Lalu mengapa harus ke Mekkah untuk bertaubat padahal di manapun seseorang dapat bertaubat walau di kediamannya sendiri. Wallahu ‘Alam.

Oleh: Habib Muhammad Quraish Shihab