Dalil Kewajiban Belajar bagi Setiap Muslim



Rasulullah Saw. bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Hukum menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah, Thabrani, dan Abu Ya’la)
Maksud hadits tersebut adalah bahwa seseorang wajib untuk menuntut ilmu seiring dengan kebaligan dan keislamannya.

Salah satunya adalah mempelajari syahadat dan memahami maknanya. Dalam hal ini, dia tidak wajib untuk mengetahui hukum-hukumnya berdasarkan dalil-dalil, tapi dia cukup meyakininya tanpa keraguan dan kebimbangan, meskipun dalam bentuk taklid. Seperti itulah hal yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. kepada setiap orang yang memeluk Islam di antara orang-orang Arab yang heterogen.

Setelah itu, dia wajib mempelajari perintah-perintah Allah yang baru baginya, seperti shalat dan puasa, sesuai dengan perkembangan perintah-perintah itu. Dia juga harus mempelajari tata cara shalat ketika shalat telah wajib dilaksanakan olehnya dan dia juga harus terus mempersiapkan diri sebelum shalat menjadi suatu kewajiban baginya. Begitu pula, puasa.

Selain itu, dia juga wajib mempelajari zakat apabila memiliki harta yang wajib dia keluarkan zakatnya, ketika sempurna satu tahun sejak ia masuk Islam. Hal itu hanya wajib ditunaikan olehnya sesuai dengan kebutuhan. Dia juga harus memahami kewajiban haji baginya. Tetapi, dia tidak harus segera mempelajari ilmunya, sebagaimana dia tidak wajib untuk segera melaksanakannya.

Dia juga wajib untuk mempelajari maksiat-maksiat yang wajib dia tinggalkan sepanjang hari sesuai dengan kebutuhan. Apabila terdetik ke-raguan di dalam benaknya tentang keyakinannya maka wajib baginya untuk mempelajari dan merenungkan sesuatu yang cukup untuk meng-hilangkan keraguan tersebut.

Dia juga wajib untuk mempelajari ilmu yang dengannya dia dapat selamat dari perkara-perkara yang membinasakan dan mencapai derajat-derajat yang tinggi. Adapun hukum mencari ilmu tersebut adalah fardhu ‘ain. Sementara itu, hukum untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.

Derajat ilmu sesuai dengan jarak (dekat ataupun jauh) ilmu itu dengan ilmu akhirat. Hal itu sebagaimana ilmu syariat lebih utama daripada ilmu-ilmu yang lain. Begitu pula, ilmu yang berkaitan dengan hakikat syariat lebih utama daripada ilmu yang berkaitan dengan dzahir hukum.

Ilmu fiqih menetapkan sah dan batalnya ibadah zahir. Sementara itu, di belakangnya ada suatu ilmu yang dari ilmu itu dapat diketahui apakah suatu ibadah diterima atau ditolak. Ini merupakan salah satu ilmu para sufi sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Para ulama terkenal yang madzhab-madzhab mereka dianut dan diikuti oleh banyak orang, mengumpulkan ilmu fiqih, ilmu hakikat, dan pengamalan ilmu-ilmu itu. Hal itu hanya dapat diketahui dengan menyingkap kondisi mereka. Sufyan ats-Tsauri adalah salah seorang dari mereka.

Tiap-tiap mereka adalah abid, zahid, alim dalam ilmu-ilmu akhirat, alim dalam ilmu-ilmu fiqih dzahir yang berkaitan dengan kemaslahatan suatu makhluk, ikhlas dalam semua ilmunya, dan merasa cukup dengan ridha Allah Swt. semata.

Inilah lima sifat yang dimiliki oleh fuqaha berbagai madzhab. Penulis tidak meringkasnya ke dalam satu sifat saja, yaitu berpanjang lebar dan berlebihan dalam cabang-cabang fiqih. Hal itu karena keempat sifat yang lain tidak bermanfaat, kecuali bagi akhirat, sementara sifat yang satu ini bermanfaat bagi dunia dan akhirat.