Hasan al-Bashri, Ulama Pewaris Nasihat Para Nabi
Namanya Hasan bin Yasar, dikenal juga dengan nama Hasan
bin Abi al-Hasan bin Abu Sa’id al-Bashri. Ia dilahirkan pada tahun 21 H, dalam
sebuah perjalanan dari Saba Maisan menuju Madinah. Kedua orangtuanya adalah
budak yang dimerdekakan.
Ayahnya adalah budak Zaid bin Tsabit al-Anshari
(sekretaris Rasulullah), sedangkan ibunya adalah budak Ummu Salamah (Ummul
Mukminin, Istri Rasulullah). Tak ayal, Hasan Bashri pernah disusui dan diasuh langsung
oleh Ummu Salamah. Boleh jadi karena wasilah itulah, menjadi berkah tersendiri
bagi seorang Hasan Bashri.
Masa kecil Hasan Bashri dihabiskan di Madinah dan sejak dini pula ia sudah menunjukkan ketekunannya belajar agama kepada para Sahabat besar kala itu. Tak pelak, ia kemudian dikenal sebagai ulama yang ‘super komplit’ baik kepribadian, keilmuan, kefasihan serta kezuhudannya. Ia menjadi rujukan utama bagi para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’iin dalam memahami al-Qur’an, al-Hadits, fikih, dan keilmuan lainnya. Hasan Bashri lantas berhijrah ke Bashrah dan menjadi pendakwah di sana.
Syahdan, nama Hasan Bashri, selalu dicatat dengan ‘tinta
emas’. Nasihat-nasihatnya, hasil ijtihad hukumnya, penafsiran ayatnya, serta
riwayat haditsnya bertebaran di dalam kitab-kitab para ulama fikih, tafsir,
hadits, bahasa dan cabang keilmuan Islam lainnya sepanjang zaman.
Pengetahuannya
bagaikan cakrawala yang luas sehingga ia dikenal dengan Syaikhul Bashrah. Asy-Sya’bi
berkata kepada serombongan kafilah yang hendak ke Bashrah, “Jika kalian melihat
orang paling tampan, paling berwibawa di sana, maka ia bernama Hasan Bashri.”
Sementara Muhammad bin Sa’ad berkata, “Hasan Bashri adalah seorang yang jami’ (penghafal al-Qur’an), alim, mulia, fakih, tsiqah, dan ahli hujjah (kuat argumentasinya), amanah, ahli ibadah, luas ilmunya dan rupawan fisiknya. Ia juga seorang khatib dan pendakwah yang paling fasih lisannya.” (Siyar A’lam an-Nubala, 4/563)
Malik bin Dinar pernah menyebutkan orang-orang yang
memiliki nasihat mulia yang menyentuh jiwa manusia, di antaranya adalah Hasan
Bashri. Sebelum memberikan nasihat kepada orang lain, ia lebih dahulu
mempraktikan nasihatnya secara istiqamah. Inilah yang membuat nasihatnya
langsung mengetuk hati orang banyak.
Al-A’masyi berkata, “Hasan Bashri selalu menyadari hikmah di balik apa yang akan diucapkannya.” Sementara Abi Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein al-Baqir berkata, Hasan Bashri adalah seorang yang menjadi pewaris nasihat-nasihat mulia para Nabi.” (Hilyah al-Auliya, 2/360)
Abu Bakar al-Hudzili berkata, “As-Safah bertanya
kepadaku: ‘Bagaimana bisa seorang Hasan Bashri mencapai posisi mulia seperti
ini?’ Aku pun menjawab: ‘Ia sudah hafal (teks, qira’ah, dan maknanya) al-Qur’an
sejak usia 12 tahun.
Saat belajar ia tidak pernah berpindah dari satu ayat ke
ayat lainnya sebelum benar-benar memahami takwil, asbabun nuzul, serta hikmah
dan tujuan dakwah ayat tersebut. Saat berdagang ia tak mencari keuntungan.
Tidak pernah mendekati penguasa. Jika ia mendakwahkan sesuatu, maka ia adalah
orang yang paling banyak melakukannya. Jika ia melarang sesuatu, maka ia adalah
orang yang paling jauh meninggalkannya.” (Syajarat adz-Dzahab, 1/137).
Abu Hamid al-Ghazali juga berkata, “Hasan Bashri diberi karunia besar dari Allah, sebagai orang yang memiliki ucapan paling menyerupai ucapan para Nabi. Serta memiliki ijtihad dan pengetahuan agama yang paling mendekati ijtihad dan pemahaman para Sahabat.” (Ihya Ulumiddin, 1/77).
Keseharian Hasan Bashri juga sangat sederhana, ia
dikenal wara’ dan zuhud, baik dalam hal makanan, pakaian maupun rumah tinggal. Makanan
sehari-harinya adalah buah-buahan dan roti kering. Di dalam rumahnya, tidak ada
kasur, bantal, maupun kain dan kulit, juga tak ada perabotan apapun. Ia hanya
tidur di atas alas tembikar yang dirajutnya, makan dari keranjang rotan dan
minum dari seutas kulit untanya.
Sebagaimana kesaksian Abu Burdah bin Abu Musa
al-Asy’ari, ia berkata: “Aku tak pernah melihat seorang pun yang lebih mirip
dengan para Sahabat Nabi dalam keilmuan dan kezuhudannya daripada ada pada diri
seorang Hasan Bashri. Kehidupannya diisi dengan mengingat akhirat. Tapi ia
tidak larut dalam kesedihan, justru menjadikannya sangat bijak menilai
kehidupan.”
Sementara Mathar al-Waraq berkata, “Ketika Hasan Bashri hadir di suatu majelis, maka seolah ia datang dari akhirat, lalu ia memberitahukan apa yang ia saksikan sendiri di sana.” (Siyar A’lam an-Nubala, 4/572-3).
Nasihat-Nasihat
Hasan Bashri kala itu termasuk ulama pesohor pewaris
nasihat-nasihat para Nabi. Tak ayal, tiap harinya, orang-orang dari berbagai
background, berbondong-bondong menemuinya untuk mencurahkan berbagai persoalan
yang dihadapi. Hasan Bashri dengan sabarnya menjawab setiap persoalan itu
dengan bijaknya.
Melalui nasihat-nasihatnya, Allah telah memberi manfaat an ketentraman jiwa kepada banyak orang, bahkan lintas generasi—hingga sekarang. Nasihat mulia Hasan Bashri seperti yang Allah umpamakan bagai pohon yang: “Akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.” (QS. Ibrahim 24-25)
Hasan Bashri berkata, ‘Dunia sepenuhnya adalah kegelapan.
Sedangkan cahaya-cahayanya berasal dari majelis-majelis ilmu para ulama. Andai
ilmu memiliki bentuk, maka bentuknya tentu lebih indah daripada matahari,
bintang maupun kemilau cahaya langit.
Sejatinya para ulama itu tidak
membutuhkan ahli dunia. Mereka cukup dengan ilmunya. Dengan ilmunya mereka bisa
mengalahkan ahli dunia. Sebaliknya ahli dunia berbekal kekayaan duniawinya tak
akan mampu mengalahkan para ulama. Itulah yang membuat ahli dunia mencurahkan
dunia mereka pada ahli ilmu karena menyukai ilmunya.
Tapi hari ini, sungguh ironis, para ahli ilmu menjual ilmunya kepada ahli dunia karena menginginkan dunia mereka.’ Suatu ketika Malik bin Dinar bertanya kepada Hasan Bashri, “Apakah hukuman bagi ulama yang mencintai dunia?” Hasan Bashri menjawab, “Matinya hati. Jika ulama mencintai dunia, maka ia mencintainya dengan amal akhirat. Saat itu, hilanglah berkah pada ilmunya dan tinggallah jejaknya.”
Surat dari Khalifah
Suatu hari Umar bin Abdul Aziz berkirim surat kepada
Hasan Bashri: “Kumpulkanlah persoalan dunia kepadaku dan gambarkanlah persoalan
akhirat!” Hasan Bashri membalas: “Sesungguhnya dunia adalah mimpi, sedangkan
akhirat adalah terjaga, sementara kematian berada di antara keduanya. Kita
sedang dalam buaian mimpi.
Siapa saja yang berhati-hati lalu meng-hisab
(menghitung kebaikan dan keburukan) dirinya, maka ia beruntung. Sebaliknya,
siapa saja yang lalai maka ia merugi.
Siapa yang melihat berbagai resiko dari tindakannya maka ia selamat, dan siapa
yang patuh kepada hawa nafsunya maka ia tersesat.
Barang siapa mengambil pelajaran, maka ia melihat. Jika sudah melihat, maka ia paham. Jika sudah paham maka ia yakin. Jika sudah yakin maka ia akan beramal. Jika engkau terpeleset, maka kembalilah. Jika menyesal maka berhentilah. Jika tak tahu, maka bertanyalah. Dan jika marah, maka tahan dan bersabarlah. Ketahuilah bahwa amal yang paling utama adalah amal yang tidak disukai oleh nafsu. Seorang yang mendengar suatu bab ilmu. Lalu ia mempelajari dan mengamalkannya. Hal itu lebih baik baginya daripada dunia beserta isinya, yang ia miliki dan ia gunakan untuk akhirat.”
Menjelang Wafat
Di akhir hayatnya, Hasan Bashri masih memberikan
nasihat. Aban bin Mihbar berkata, “Ketika maut mendatangi Hasan Bashri, ia
didatangi sekelompok sahabatnya. Mereka berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Sa’id,
bekalilah kami beberapa nasihat sebagai bekal bagi kami menjalani kehidupan
ini’.
Hasan Bashri menjawab: ‘Aku bekali kalian tiga kalimat lalu pergilah dan tunaikanlah. Segala yang dilarang agama, maka jadilah kalian orang yang paling menjauhinya. Segala amal yang diperintahkan agama, maka jadilah kalian orang yang paling banyak melaksanakannya. Langkah manusia itu ada dua macam; langkah di jalan kebaikan seperti pergi untuk shalat adalah berpahala, edangkan langkah di jalan keburukan adalah mengandung dosa.”
Hasan Bashri wafat pada malam Jumat awal bulan Rajab
tahun 110 H, dalam usia 88 tahun. Jenazahnya disaksikan dan dishalatkan selepas
shalat Jumat. Ia diiringi lautan manusia yang datang dari penjuru daerah.
Hamid ath-Thawil berkata, “Kami mengusungnya setelah shalat Jumat lalu memakamkannya. Semua orang mengiring jenazahnya ke pemakaman dan mendoakannya di sana. Hingga tidak diselenggarakan shalat Ashar di Masjid. Semua orang terfokus mendoakannya dan berjamaah di lapangan dekat pemakamannya.” (Siyar A’lam an-Nubala, 4/587)
Penulis: M. Bagus Irawan, peminat di kajian Tafsir dan Sejarah Islam