Islam Shahih Li Kulli Zaman wa Makan

Waktu dalam Islam


Islam Sesuai Waktu dan Tempat

Salah satu ciri ajaran islam yang diakui oleh seluruh kaum Muslim bahwa: “Islam sesuai dan dapat diterapkan kapan dan di mana saja.” Sementara orang meragukan hakikat tersebut, apalagi di era globalisasi ini yang terlihat dengan jelas pesatnya perubahan dan perkembangan.

Menghadapi kenyataan tersebut, ada pihak di kalangan umat islam yang menyelesaikan problem itu dengan “memaksa” masyarakat mengikuti sepenuhnya apa yang pernah dipraktikkan oleh masyarakat pertama yang ditemui ajaran islam, yakni masyarakat Nabi SAW dan para sahabat beliau sekitar 1.400 tahun yang lalu. 

Mereka berdalih bahwa itulah yang terjamin kebenaran dan kemurniannya dan generasi merekalah yang merupakan generasi terbaik umat manusia dan yang mestinya menjadi teladan untuk semua manusia, kapan dan di mana pun. Tapi, ini tentu sangat memberatkan. “Berat” yang tidak sejalan dengan ciri ajaran Islam yang menghendaki kemudahan.

Ada lagi yang mengusulkan melakukan perubahan secara menyeluruh sehingga ajaran islam sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dan tanpa mempertimbangkan secara matang apakah perubahan yang ingin dicapai itu merupakan perubahan positif atau negatif.

Kedua solusi yang bertolak belakang di atas tidak sejalan dengan tuntunan ajaran Islam dan tidak juga dengan ciri moderasi yang merupakan salah satu ciri pokok ajaran ini. Jika demikian, bagaimana menyelesaikannya?

Terlebih dahulu perlu disadari bahwa tidak semua hal dalam hidup ini berubah. Sejak dahulu hingga kini, manusia membutuhkan, katakanlah sandang, pangan dan seks. Orang tua sejak dahulu, hingga kini, dan diduga pada masa mendatang, tetap akan mencintai anak-anaknya, demikian seterusnya. Memang perubahan terjadi, sepanjang masa, namun pada cara atau jenis makanan, pada model dan bahan pakaian, dan cara menyalurkan kebutuhan seks hingga perubahan pada cara dan sarana serta hal-hal yang bersifat material.

Di sisi lain perlu diingat bahwa tidak semua perubahan menghasilkan dampak/pengaruh positif atau bermanfaat bagi perkembangan dan kemaslahatan masyarakat. Potensi negatif manusia dapat mendorong kemanusiaan menuju kehancuran. Karena itu, sekali lagi, perubahan tidak harus diikuti. Siapa yang memegang kendali kapal harus mampu mengendalikannya di tengah badai dan ombak yang membahana. Jadi, kita harus memilah dan memilih mana perubahan yang wajar diikuti dan mana pula yang harus dihindari.

Al-Qur’an melukiskan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang terus maju dan berubah. Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, lalu menjadi besarlah dia di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya sehingga menjengkelkan hati orang-orang kafir. (QS. Al-Fatih [48]: 29)

Keluwesan ajaran Islam mampu menyesuaikan diri dengan perubahan/perkembangan positif masyarakat manusia antara lain karena:

Pertama, Islam memperkenalkan dua macam nilai ajarannya. Langgeng tidak berubah dan juga kenyal/fleksibel. Yang pertama mendasar, bersifat universal, dan abadi berlaku kapan dan di mana saja karena itu ia dinamai juga ats-tsawabit, sedang yang kedua, praktis, lokal, dan temporal. Ia dinamai al-Mutaghayyirat, yakni yang berubah. 

Kedua jenis nilai ini diisyaratkan oleh firman-Nya dalam QS. Ali Imran [3]:104.  Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Al-Khair adalah nilai-nilai universal yang terdapat dalam Qur’an dan Sunnah. Ini menyangkut ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan keperluan manusia yang tidak berubah. Misalnya, tidak ada perubahan menyangkut kebutuhan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak perubahan dalam insting manusia menyangkut ibu bapaknya atau kecemburuan perempuan terhadap perempuan lain yang menjadi “madu”-nya. Atas dasar ini, lahir ketentuan yang tidak berubah, yakni larangan mengawini bapak/ibu dan larangan menghimpun sebagai istri dua orang bersaudara, demikian seterusnya.

Adapun al-Ma’ruf maka ia adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama tidak bertentangan dengan al-khair. Al-Ma’ruf adalah hak/kebenaran yang diakui dan dengan kadar yang diakui pula, dan ini tidak dapat diukur dengan waktu tertentu karena ia terus-menerus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan kondisi dan perkembangan situasi masyarakat. Tetapi sekali lagi, ia tidak boleh bertentangan dengan al-khair. 

Islam misalnya, dapat membenarkan aneka mode pakaian selama tetap menutup aurat. Dahulu ada orang-orang yang mengharamkan topi atau dasi, namun kini hal tersebut tidak lagi demikian karena adanya perkembangan masyarakat dan hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan al-Quran dan Sunnah dalam berpakaian. Al-Khair atau ats-Tsawabit yang dikemukakan di atas memiliki peranan yang sangat besar dalam menciptakan ketentuan-ketentuan rinciyang menjamin kemaslahatan individu dan masyarakat dalam perubahan dan perkembangannya.

Kedua, Islam tidak menekankan bentuk-bentuk formal menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Islam dalam hal tersebut lebih mengandalkan sisi substansi dan jiwa ajaran, apalagi perkembangan ilmu dan teknologi tidak mengakibatkan perubahan tujuan. Ilmu dan teknologi hanya mempercepat sampai ke tujua, sedang yang menentukan tujuan adalah manusia sendiri melalui keimanannya. 

Nabi SAW tidak jarang mengubah dan menerima hal-hal baru yang disodorkan kepada beliau, lalu meninggalkan yang lama. Dari sini kita dapat berkata bahwa Islam tidak mengultuskan alat atau materi. Alat dan bentuknya dapat berubah walau dalam konteks pelaksanaan ibadah. Masjid misalnya, dapat berubah bentuk serta alat-alat yang digunakan untuk memfungsikannya, demikian juga mimbar-mimbar khutbah. Bangunan Ka’bah yang segi empat itu, seandainya dipindahkan ke tempat lain, tidak akan mengubah arah shalat kaum Muslim dari arah Ka’bah dewasa ini, walau Ka’bahnya berpindah tempat.

Ketiga, Islam memperkenalkan apa yang dinamai ijtihad, yakni upaya sungguh-sungguh untuk menemukan hukum/tuntunan agama melalui dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Ini membuka peluang bagi lahirnya tuntunan baru yang sebelum ini belum dikenal. Dalam konteks ini dapat dicatat bahwa Islam menetapkan bahwa dalam konteks tuntunan agama yang berkaitan dengan ibadah mahdah (ritual murni), maka ia harus diterima sebagaimana apa adanya, sedang selebihnya maka setiap tuntunan hendaknya dicari illat (motivasinya). 

Bila illat itu telah tiada, maka hukum dapat berubah. Sebagai contoh, pada awal islam, Rasul melarang kaum Muslim menziarahi kubur, khawatir jangan sampai dikultuskan, antara lain dengan bermohon kepada yang dikuburkan. Tetapi setelah jelas dan mantap keimanan para sahabat dan kemungkinan di atas telah sirna, maka Nabi SAW mengizinkan, bahkan menganjurkan, untuk berziarah. Memahami illat dari ketetapan hukum dapat membuka pintu bagi perubahan/perkembangan hukum.

Keempat, Islam memperkenalkan apa yang dapat dinamai hak veto, yakni kendati telah ada ketetapan-ketetapan hukum yang pasti, tetapi bila lahir dari pelaksanaannya mudharat/kesulitan, maka ketetapan hukum itu dapat diveto sehingga terganti dengan yang lain atau berubah menjadi lebih ringan, bahkan batal secara hukum. Ini sejalan dengan ciri adam al-haraj (tidak memberatkan) yang merupakan salah satu ciri ajaran islam.

Oleh Habib Muhammad Quraish Shihab