Syekh Abu Hasan Syadzili, Sufi Pekerja Keras & Kaya Raya


Nasab Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili

Nama lengkapnya adalah Ali bin Abdullah bin Abd Al-Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Halim bin Qishy bin Yusuf bin Yusy'a bin Warad bin Bathal bin Ali[1] Ibnu Ahmad bin Muhammad bin Yahya[2] bin Muhammad[3] bin Isa[4] bin Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Para penulis biografi sang imam sepakat bahwa nasab dan silsilah Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili tersambung hingga kepada baginda Rasulullah Saw, melalui putrinya Fatimah. Ini adalah garis keturunan mulia yang menurunkan para pemimpin agung nan alim.[5]

Terkecuali pengarang kitab Thabaqât al-Auliyâ`, dia menuliskan: “Ali bin Abdullah bin Abd Al-Jabbar bin Yusuf, Abu Al-Hasan Al-Hadzli Asy-Syadzili. Dan dalam beberapa karangan, silsilah keturunannya sampai kepada Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi silsilah setelah Yusuf yang disebutkan sebelumnyaIbnu Yusy'a bin Warad bin Bathal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalibini masih diragukan.[6]

Ciri Fisik dan Karakteristik

Para penulis biografi Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili sepakat bahwa sang imam adalah seorang yang cakap, pandai dan memangku jabatan mulia. Ibnu Mulqin menggambarkan karakteristik sang imam dengan berkata, "Nama Syadzili dinisbatkan kepada Syadzilah, sebuah kota di wilayah Afrika. Dia seorang zahid yang sabar, menetap di Iskandariyah dan seorang syekh tarekat Syadziliyah."[7]

Sedangkan Imam Ibn Atha`illah As-Sakandary menjelaskan, “Siapakah gerangan, seorang quthub (pemimpin), pejuang bagi kaum lemah, sandaran bagi para sufi, penunjuk jalan menuju Allah, penghias kaum bijak, guru para ulama besar, kehidupannya penuh misteri, cahaya paling benderang pada zamannya, al-quthb al-gaits al-jami' (penebar kasih sayang dan pertolongan) dan dia tak lain adalah Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili.[8]

***

Adapun ciri fisik Abu Hasan Asy-Syadzili adalah berkulit merah, berbadan kurus, berperawakan tinggi, memiliki dua pelipis yang tipis, jari-jari panjang seperti orang Hijaz, fasih tatkala berbicara dan suaranya enak didengar.[9]

Ia selalu berpakaian bersih dan rapi setiap kali pergi ke masjid. Hal ini disandarkan pada sabda Rasulullah Saw., "Bumi telah dijadikan untukku sebagai masjid dan tempat yang suci." Dengan demikian, bumidi mana pun manusia berpijakseluruhnya adalah masjid. Karena itulah Abu Al-Hasan selalu menghias diri dengan berpakaian rapi dan wangi.

Sang imam melihat bahwa tarekat tidaklah terbatas pada bertapa dan berpakaian kasar (kain lusuh dan usang) semata. Justru dia memandang, tarekat yang sesuai dengan kerangka ajaran al-Quran yakni: "Pakailah pakaian mewah, kendaraan terbaik dan kuda yang baik pula." Tak pelak, Imam Syadzili menghimbau kawan-kawannya menggunakan metode ini dalam memahami zuhud dan arti uzlah (bertapa).

Pada suatu ketika, Abu Abbas Al-Mursi bertamu kepada Imam Syadzili, terbesit dalam dirinya untuk memakan roti yang mengeras dan berpakaian usang, maka sang imam berkata, "Wahai Abbas, kenalilah Allah dan jadilah apa saja yang kau kehendaki! Barang siapa yang mengenal Tuhannya, memakan dan meminum suatu yang lezat (nan halal), tidak akan membahayakannya." Walaupun demikian, Abu Hasan sejatinya telah melewati fase kehidupan yang keras dan terjal di pegunungan Guzwan. Di sana, aral dan rintangan kehidupan tak mudah dilalui, kecuali oleh para pahlawan dan kesatria.

Kelahiran dan Pendidikan

 Abu Hasan Asy-Syadzili dilahirkan pada tahun 593 H, di sebuah desa bernama Gumrah, Afrika Utara. Desa ini dekat dengan kota Sabtah, berada di bagian baratnya.

Imam Syadzili sejak kecil amat gemar menimba berbagai ilmu. Ia akan terus belajar dengan berbagai cara dan motivasi, sampai ia benar-benar berhasil menguasainya. Ibnu Atha`illah As-Sakandary berkomentar mengenai sang imam dengan pernyataan, "Tidaklah dia memasuki tarekat, hingga ia mampu berdebat dengan ilmu-ilmu yang bersifat lahiriyah."

Ibnu Mulqin menambahi bahwa sang imam memiliki bait nuzhum mutasyabihât (prosa yang mengandung rumus-rumus) dan juga menemani syekh Najm Ad-Din bin Al-Asfahani yang bermukim di al-Haram.

Abu Hasan bercerita tentang kisah pendidikannya, "Sejak dini aku telah belajar kimia dan memohon kepada Allah Swt. untuk memberikanku pemahaman tentangnya. Maka Tuhan pun menjawab, 'Wahai Ali, kau meminta untuk diberi pemahaman tentang kimia, sedangkan kimia itu sendiri ada dalam air senimu. Jadikanlah apa yang ada dalam air senimu sebagaimana yang kau kehendaki.'

Kemudian aku memanaskan kapak dan membiarkannya mengapung dalam air seniku, kemudian kapak itu berubah menjadi emas. Lantas aku mengadu pada Tuhan, 'Ya Tuhan, aku telah meminta sesuatu, tapi belumlah aku sampai pada sesuatu itu, karena hal yang kotor dan najis.' Tuhan pun menjawab, 'Wahai Ali, dunia itu kotor dan dunia tidaklah datang kecuali dengan membawa kotoran.' Maka aku berkata, 'Wahai Tuhanku, kalau begitu, maka sedikitkanlah kotoran itu untukku.' Tuhan lantas menjawab, 'Panaskanlah kapak itu, niscaya ia akan berubah menjadi besi.'''

Dapat disimpulkanjika cerita tersebut benar—bahwa Imam Syadzili mempelajari berbagai kelimuan berbasis teori dan empiris, dengan motivasi mendapat keuntungan materi dan kekayaan duniawi. Karena sejatinya Allah telah mengembalikannya ke dalam cakrawala makrifat, kekayaan ruh dan dipenuhi iman. Bagi kaum arif, hakikat dunia sejatinya hanya menampilkan kehinaan belaka. Dunia, di sisi Allah tidak lebih berharga dari sepasang sayap lalat.

Sedangkan berubahnya kapak menjadi emas bukanlah hal yang mustahil, jika kita mengetahui hakikat karamah. Karena karamah secara mendasar berkaitan dengan kekuasaan Allah dan kehendak-Nya. Wallahu a'lam.

Asal Nama Syadzili

Ketika melacak buku dan referensi yang menuliskan biografi Imam Syadzili, akan didapati pendapat senada bahwa namanya adalah Ali. Nama Syadzili disematkan padanya karena dinisbatkan kepada Syadzalah, sebuah desa di wilayah Afrika.

Ada sebuah riwayat yang menceritakan kisah pemberian nama yang disematkan kepada Ali ini. Ia berkata: "Ketika aku menemani guruku, Syekh Abd As-Salam bin Masyisyi, dia berkata padaku, 'Pergilah ke Afrika dan tinggallah di sebuah kota bernama Syadzalah, karena Allah telah memberimu nama Asy-Syadzili.'''

Dikisahkan juga bahwa Abu Hasan Asy-Syadzili berkata, "Wahai Tuhan, kenapa Engkau memberiku nama Syadzili, sedang aku bukankah seorang syadzili (berasal dari kota Syadzalah)?' Tuhan menjawab, 'Wahai Ali, Aku tidak menamakanmu Asy-Syadzili, tetapi Syadzili.''' Dengan dhammah pada huruf dzal.

Mungkin maksudnya—hanya Allah yang Maha Mengetahui—bahwa nama itu digunakan sebagai sebuah rumus. Yakni, Imam Syadzili mengkhususkan diri hanya beribadah kepada Allah dan  memurnikan hati dari segala objek selain Allah.



[1] Lihat: al-Lathâ`if dan al-Mûhibah as-Sunniyah

[2] Lihat:  al-Mawâhib as-Sunniyah

[3] Disampaikan oleh pengarang al-Mawahib sampai batas ini dari Ibnu Ibad dalam bukunya al-Mufakkir al-'Ilmiyyah dan mengikutinya dengan berkata: Ibnu Isa bin Idris bin Umar bin Idris

[4] Hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Ibnu Majah

[5] Lihat: al-Madrasah Asy-Syadziliyah karya Dr. Abdul Halim Mahmud 

[6] Lihat: al-Madrasah Asy-Syadziliyah, hlm. 20 dan al-Mawahid as-Sunniyah

[7] Ibid

[8] Lihat: al-Lathâ`if al-Minan, hlm. 53 dan Sya'rawi, ath-Thabaqât, Juz  IV, hlm. 4

[9] Al-Mawâhib as-Sunniyah, hlm. 1