Menjawab Pertanyaan Seputar Tauhid: Di Mana Allah?


Bagaimana cara menjawab anak kecil yang bertanya dimana Allah?

Apabila ada seorang anak kecil yang mengajukan pertanyaan ‘dimanakah Allah’? maka kita sebagai orang tua harus menjawab: ‘Allah itu berbeda dengan makhluk-Nya'.

Sebagaimana Allah telah memberitahukan akan diri-Nya di dalam al-Qur’an: “Tidak ada suatu apapun yang serupa dengan Dia. Dialah Allah yang maha mendengar dan maha melihat”. (as-Syuura: 11).’

Kita harus bisa memahamkan kepada anak itu bahwa ia tidak boleh berfikir mengenai Dzat Allah, karena berfikir mengenai Dzat Allah akan mempengaruhi pikiran dan khayalannya pada bentuk atau gambar yang akan menyimpulkan bahwa Allah itu seperti makhluk-makhluk-Nya. 

Kita harus bisa memberikan nasehat kepadanya agar sebaiknya ia berfikir dan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang hebat, sehingga keyakinan dan keimanannya kepada Allah akan menjadi semakin kuat.

            Adapun pertanyaan tentang keberadaan Allah SWT dengan kata ‘dimana’ juga termasuk bagian dari permasalahan aqidah. Semua orang Islam wajib beriman bahwa Allah itu wujud (ada). 

            Dan makna ‘Allah itu ada’ adalah bahwa Dzat Allah tidak mungkin menerima sifat ketiadaan -dan wujud Allah ada dengan sendiri-Nya-. 

            Allah SWT tidak membutuhkan sebab atau sesuatu yang menjadikan-Nya ada. Bahkan ‘waktu’ dan ‘tempat’ sama sekali tidak memberikan pengaruh apapun untuk mewujudkan Dzat Allah SWT.

          Apabila dengan pertanyaan ‘dimana’, seseorang bermaksud ingin mencari pengetahuan mengenai arah dan posisi Dzat Allah -dan pertanyaan ini memang menghendaki tempat, arah, dan posisi- maka sesungguhnya pertanyaan ini tidak pantas terlontar dari mulut seorang muslim. 

        Tempat, arah, dan waktu adalah sesuatu yang bersifat hadits (baru). Maksudnya ketika kita mensifati suatu benda dengan suatu arah, maka benda itu pasti bergantung pada arah yang kita kehendaki. 

            Misalnya jika kita mengatakan bahwa langit itu berada di atas, maka langit itu berada di posisi atas apabila dikaitkan dengan laut atau bumi -yang letaknya berada dibawahnya-. Akan tetapi langit akan berada di bawah apabila dikaitkan dengan langit yang ada di atasnya. 

            Selama ‘arah’ dan ‘posisi’ itu sifatnya nisbi (bergantung pada sesuatu yang lain) dan hadits (baru), maka ia tidak pantas apabila kita sematkan kepada Dzat Allah yang maha tinggi.

            Semua orang Islam meyakini bahwa Allah SWT bersifat qodim (dahulu). Maksudnya bahwa Allah tidak diawali dengan proses awal kemunculan. Karena Dialah yang maha awal. Firman Allah: “Dialah (Allah) yang maha awal”. (al-Hadid: 3).

            Nabi bersabda, antal awwalu falaisa qoblaka syai’. (HR Muslim), artinya: “Engkaulah yang maha awal. Tidak ada sesatu sebelum Engkau”. Sifat Qidam (dahulu) akan meniadakan sifat yang mengatakan bahwa Allah didahului oleh sesuatu.

            Semua sifat Allah bersifat dahulu. Sesungguhnya sifat-sifat Allah itu tetap dan tidak akan terpengaruh dengan berubahnya segala sesuatu. Oleh karena itu tindakan menetapkan ‘arah’ dan ‘tempat’ bagi Allah berarti menetapkan perubahan bagi Allah SWT. Dan itu mustahil. 

            Allah SWT tidak disifati dengan sifat ‘tinggi’ atau ‘atas’ melainkan setelah terciptanya alam. Karena sebelum alam ini tercipta Allah tidak berada di ‘atas’ karena tidak ada sesuatu yang berada di bawahnya. Arah atas dan arah bawah adalah sifat-sifat hadits yang muncul dari sesuatu yang hadits. Dan sifat hadits tidak pantas apabila kita sematkan kepada Dzat Allah yang maha agung.

            Umat Islam juga beriman bahwa Allah memiliki sifat mukholafatun lil hawaditsi (berbeda dengan makhluk-makhluk-Nya). Maksudnya bahwa hakekat Allah itu berbeda dengan hakekat makhluk. Sifat mukhoafaun lil hawaditsi akan meniadakan sifat kejasmanian, keruhanian, dan keterbagian bagi Dzat Allah SWT. 

            Jika setan tiba-tiba masuk kedalam pikiran dan ingin menggoda kita mengenai Dzat Allah, maka katakanlah padanya dengan lantang bahwa tidak ada yang mengetahui hakekat Allah kecuali Allah sendiri!.

            Sifat mukholafatun lil hawaditsi diambil dari firman Allah SWT: “Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Dan Dia (Allah) maha mendengar lagi maha melihat”. (as-Syuura: 11).

          Juga diambil dari hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abi bin Ka’b rodliyallah ‘anh, beliau berkata, “banyak orang musyrik yang berkata kepada nabi, ‘wahai Muhammad! jelaskan kepada kami bagaimana nasab (keturunan) tuhanmu’. 

         Lalu turunlah wahyu Allah yang berbunyi: Katakanlah (wahai Muhammad)!, Dia-lah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”. (al-Ikhlas: 1-4).

Sesungguhnya yang dilahirkan itu pasti akan mati. Dan yang mati akan diwaris oleh para ahli warisnya. Sedangkan Allah SWT tidak mati dan tidak diwaris. Nabi bersabda, lam yakun lahu syabiih. (HR-Hakim), artinya: “Allah tidak memiliki perumpamaan”. 

Allah SWT telah mensifati diri-Nya dengan sifat yang menolak adanya permisalan dan sifat-sifat rendah lainnya yang tidak sesuai dengan sifat-Nya yang maha tinggi. Dan orang-orang mukmin yang diberi akal yang sehat tentu akan memahami bahwa Allah SWT itu jelas berbeda dengan makhluk.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang muslim tidak boleh mensifati Allah dengan sifat-sifat hadits (baru). Ia juga tidak boleh bertanya mengenai Allah yang menghendaki jawaban yang akan menyebabkan timbulnya penyerupaan Allah dengan makhluk. 

Maka dari itu seorang muslim tidak boleh mengajukan pertanyaan ‘di mana’ dengan maksud mencari tahu ‘arah’ dan ‘posisi’ Allah SWT. Akan tetapi kita boleh bertanya dengan kata ‘dimana’ yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa agung kekuasaaan dan kebesaran Allah SWT. Wallahu ta’ala a’la wa a’lam.