Syekh Izzuddin dan Perdagangan Khamer di Mesir


Pada suatu Hari Raya, keluarlah rombongan raja menelusuri jalanan Kairo, sedangkan rakyat berjajar di kanan-kiri jalan. Pedang-pedang terhunus, para punggawa berbaris di depan raja dengan wibawa dan kemegahan. Di sini, berdirilah al-Izz bin Abdussalam dan berkata, “Wahai Ayub!”

Begitulah ia memanggil nama Ayub tanpa gelar. Ayub, raja diktator dan kuat itu pun menoleh untuk melihat siapakah orang yang menyapa dirinya dengan memanggil nama terangnya, tanpa awalan dan tanpa gelar.

Al-Izz pun berkata kepadanya, “Apakah alasan yang akan engkau katakan di hadapan Allah kelak ketika Dia bertanya: ‘Bukankah Aku telah berikan kepadamu takhta Mesir, lalu engkau izinkan penjualan khamer?”

“Apakah hal itu terjadi di Mesir?” tanya Raja Ayub.

“Benar. Di sebuah tempat ada kedai yang menjual khamer.”

“Aku tidaklah melakukannya. Hal itu telah terjadi sejak masa ayahku.”

Al-Izz bin Abdussalam menggelengkan kepala seraya mengatakan, “Apakah engkau rela untuk menjadi bagian dari orang-orang yang pada Hari Kiamat nanti berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka. (al-Zukhruf [43]: 23)?‘”

“Tidak. Na’udzu billah min dzalik!”
Maka tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membatalkan aturan tersebut.
Setelah pertemuan itu bubar, ditanyalah Syekh al-Izz: “Bagaimana engkau berani kepada sang raja, dengan kebesaran kekuasaannya?”

“Aku melihatnya merasa besar di tengah rombongannya, hingga aku hendak menghinakannya,” jawab al-Izz.

“Tapi engkau tidak takut kepadanya?”

“Aku hadirkan haibah Allah di hatiku hingga aku melihat Ayub laksana kucing.”

Syekh al-Izz bin Abdussalam senantiasa mengikuti jalan ini hingga ia tinggalkan semua kedudukan dan kekuasaan, menjadi masyhur dan dikenal luas, hingga menjadi perumpamaan sebagaimana dikatakan, “Engkau tiada lain adalah orang awam, meskipun engkau adalah putra Abdussalam.”

(Sumber: “Rawa‘i al-‘Izz bin Abdussalâm” dan “Qisasul Auliya’, Qaf: 2020)