Sarjana Muslim Debat dengan Orang Ateis [2]



Tuhan cuma hasil pikiran manusia. Buktinya, masing-masing orang beragama punya konsep ketuhanan yang berbeda-beda. Orang Islam bilang Tuhan itu begini, orang Kristen bilang Tuhan itu begitu. Para penganut agama lain juga punya konsep ketuhanan yang berbeda dengan kedua agama itu. Tidakkah itu menunjukan bahwa Tuhan tak lebih dari sekedar pikiran manusia belaka? Tidakkah itu menunjukan bahwa kitalah yang menciptakan Tuhan, tapi bukan Tuhan yang menciptakan kita?
Kalau ada orang bilang begini, Anda cukup memberikan permisalan dengan sesendok sambal terasi. Tiga orang diminta untuk memakan sambal itu. Satu sendok dibagi tiga. Yang satu, sedang menderita diare. Yang kedua, sedang sehat, tapi tidak suka pedas. Yang ketiga, hobi makan pedas, kaya tanboykun. Setelah itu, Anda minta mereka untuk menjelaskan gambaran mereka tentang sambal terasi itu sendiri. Apa yang akan terjadi? Jawaban mereka pasti tidak akan sama.
Pertanyaannya, apakah keragaman gambaran mereka tentang sambal terasi itu mempengaruhi kesatuan sambel terasi itu sendiri? Ya jelas nggak dong. Gambaran kita tentang sesuatu itu satu hal, sesuatu yang kita gambarkan itu hal yang lain lagi. Dan kalau saya menolak gambaran sambal terasi menurut Anda, ya tentu yang saya tolak bukan sambal terasinya, tapi gambaran dan penjelasannya. Sebanyak apapun komentar orang mengenai sambal terasi itu, sambal terasi yang dijelaskan tetaplah wujud yang satu. Tidak terpengaruh oleh gambaran dan penjelasan yang beraneka-ragam itu.
Selanjutnya, ketika manusia punya gambaran tentang sesuatu, apakah gambaran dia bisa dijadikan alasan untuk menafikan sesuatu di luar nalarnya itu? Tentu saja tidak. Orang bisa punya gambaran apa saja tentang sambal terasi. Tapi, betapapun beragamnya, gambaran kita tentang sesuatu di dalam nalar bukanlah alasan untuk membuktikan ataupun menafikan keberadaan sesuatu di alam luar. Kenapa? Karena, sekali lagi, gambaran dan penjelasan kita tentang sesuatu itu satu hal, ada atau tidaknya sesuatu yang kita gambarkan di alam luar, itu hal yang lain lagi.
Ya, boleh jadi ini permisalan yang tidak sepenuhnya tepat. Tapi, dengan permisalan ini, kita hendak menegaskan satu pandangan bahwa keragaman gambaran kita tentang sesuatu di dalam nalar, bukanlah alasan yang sahih untuk membuktikan ataupun menafikan keberadaan, juga keragaman, sesuatu itu di alam luar. Karena itu menyangkut dua hal yang berbeda. Saya dan Anda, misalnya, punya gambaran berbeda tentang cicak. Tapi, apakah gambaran itu bisa dijadikan alasan untuk membuktikan keberadaan dan ketiadaan cicak? Tentu saja tidak. Gambaran itu ada di dalam nalar, sementara ada atau tidak adanya cicak bisa dibuktikan di alam luar.
Lantas, apakah itu artinya Anda meyakini Tuhan berada di alam luar? Ya, Tuhan berada di luar pikiran manusia. Hanya saja, yang perlu dicatat, kata “di alam luar” yang kita maksud adalah “di luar”, dengan catatan bahwa “di” yang disebut bukan "di" dalam arti kebertempatan. Ini hanya soal keterbatasan pilihan kata saja. Yang kita maksud dengan ungkapan itu ialah, Tuhan adalah entitas (wujud) yang terpisah dan berbeda dari alam semesta. Dan karena itu Dia berada “di luar” pikiran manusia.
Kenapa bisa begitu? Ya karena Dialah yang menjadi sebab utama di balik kemunculan alam semesta ini. Kalau Anda menafikan keberadaan sebab itu, kita balik lagi dengan pertanyaan, bagaimana Anda menjelaskan kemunculan alam semesta ini? Di situlah kadang kita menyaksikan akal sehat tersungkur kedalam comberan. Ada yang bilang alam ini muncul sekonyong-konyong dengan sendirinya, atau disebabkan oleh dirinya sendiri. Lalu dikemaslah dengan bahasa-bahasa ilmiah, yang kalau ditilik-timbang secara logis, uraian mereka telah mengkhianati akal sehat itu sendiri.
Padahal, cukup dengan percaya bahwa sesuatu yang ada dari ketiadaan butuh pada sebab yang mengadakan, maka tidak sulit bagi kita untuk sampai pada kesimpulan bahwa yang menjadi sebab hakiki di balik kemunculan itu adalah Tuhan. Kenapa harus Tuhan? Itu istilah yang datang dari Agama. Anda bisa menyebut sebab utama itu dengan istilah apa saja. Yang jelas, mari kita gunakan nalar sehat kita untuk mengamini keberadaan sebab itu. Kecuali kalau Anda sudah bosan hidup dengan kewarasan. Dan memang itulah yang dialami oleh orang-orang yang mengingkari keberadaan Tuhan.

Penulis: Muhammad Nuruddin